Selasa, 23 Februari 2016

Pakaian Adat Sulawesi Tengah ( Poso )

Pakaian tradisional merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu wilayah. Pakain budaya dapat memperlihatkan keragaman dan kekayaan negeri ini. Pakaian daerah juga dapat memperkokoh jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memegang teguh semboyan “Bhineka Tungga Ika”.

Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya, lantas di nias terkenal dengan pakaian baru oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan,. Maka di Sulawesi Tengah kita akan banyak menemukan berbagai pakaian adat.
Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya.

Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini. Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja.
Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai.

Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau Pende.
Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak. Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari ini untuk dikenakan bersama pakaian ini.

Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini.

Pakaian adat berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki.

Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian kepala.

Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Pebo’o, Cincin atau Sinsi.

Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan. Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi perlengkapan untuk pakaian adat pria.

Pakaian adat etnis selanjutnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat perempuan dan laki-laki.

Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas. Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa. Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna kuning.

Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang.

Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan tutup kepala atau Songgo.

Berikutnya ialah pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan berbentuk bintang.
Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong, sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng.

Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana panjang (Lipa).

Ada pun bahan yang digunakan pakaian sehari-hari ialah bahan yang teridiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin).  Pembuatan bahan pakaian ini meliputi:

    Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan.
    Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.
    Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur.
    Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang disebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter.
    Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)
    Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika.

Pakaian upacara menggunakan kulit kayu Ivo sebagai bahannya. Kulit kayu Ivo merupakan kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu.