Selasa, 23 Februari 2016

Pakaian Adat Yogyakarta



Yogyakarta terkenal sebagai kota budaya dan kota pelajar. Karena daerah ini masih kental dengan adat istiadatnnya, maka pakaian tradisional yogyakarta tak lepas dari busana sehari-hari, khususnya yang ada di lingkungan keraton Yogyakarta. Ada aturan-aturan tersendiri yang harus di taati dalam tata cara berpakaian ala pakaian tradisional daerah istimewa yogyakarta yang tinggal di lingkungan kraton Yogyakarta. Selanjutnya di baju Busana Adat Yogyakarta

Pakaian Adat Banten


Awalnya provinsi Banten ini masih menjadi bagian dari provinsi jawa barat. Tetapi mulai berdiri menjadi provinsi sendiri sejak mulai tahun 2000. Selain obyek wisatanya yang menarik, budaya banten juga sangat unik seperti kesenian debus yang sudah sangat terkenal. Masih melanjutkan info pakaian adat di Indonesia, postingan kali ini tentang pakaian adat Banten sebagai salah satu keanekaragaman Budaya Indonesia

Pakaian Adat Betawi


























Dalam budaya masyarakat Jakarta atau Betawi terdapat beragam pakaian adat tradisional. Misalnya untuk pakain yang di kenakan sehari hari, pakain resmi atau pakaian pengantin untuk mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Kalau untuk baju yang sering di kenakan sehari-hari oleh laki-laki Betawi, pakain yang sering di pakai adalah baju koko atau sadariah, kemudian memakai celana batik di tambah kain pelekat serta peci.

Pakaian Adat Jawa Tengah

Adat jawa sangat melekat di Indonesia,khususnya suku jawa. Pada acara tertetu suku jawa tak luput dari adat mereka. Begitu juga dengan pakaian adatnya.Saat acara-acara tertentu adat istiadat jawa harus memenuhi persyaratan adat yang akan di laksanakan.Berikut melody akan membahas tentang pakaian adat jawa tengah yang di pakai pada saat acar-acara tertentu.Baik sejarah asal-usul atau asal mula baju adat Jawa Tengah, kelengkapan apa saja yang di pakai (kostum). Dan bagaimana kostum pernikahan adat Jawa Tengah.

Jenis busana dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.
Mengenai teknik dan cara membuat baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga dipakai di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor sebenarnya serupa dengan blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu sehelai bagian depan dan sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah lengan baju. Modelnya dapat ditambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi panjang yang dipakai sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka.
Pada bagian badan kebaya dipotong sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini dimaksudkan agar benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing. Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar sehingga dapat dilipat ke dalam untuk vuring kemudian dilipat lagi keluar untuk membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapatdikerjakan dengan mesin jahit ataupun dijahit dengan tangan.
Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju
beskap kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris.
Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian kepala memakai destar.
Busana Basahan
Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan selop.
Saat upacara ijab, busana yang dipakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin pria memakai busana basahan. Busana basahan pengantin pria disini terdiri dari kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang dan selop.
Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju, melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh, sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah. Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kira-kira 4-5 meter, dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan kalung ulur.
Pada upacara panggih ini, biasanya kedua mempelai pengantin melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan. Perhiasan yang biasa digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur, timang/epek, cincin, bros dan buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita, perhiasan yang biasa dipakai adalah cunduk mentul, jungkat, centung, kalung, gelang, cincin, bros, subang dan timang atau epek.
Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka ladrang dan selop.
Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.
Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias yang dikenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tematema geometris, swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal : burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang disebut motif tangga merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.
Pada masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta memakai stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.

Pakaian Adat Sulawesi Tengah ( Poso )

Pakaian tradisional merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu wilayah. Pakain budaya dapat memperlihatkan keragaman dan kekayaan negeri ini. Pakaian daerah juga dapat memperkokoh jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memegang teguh semboyan “Bhineka Tungga Ika”.

Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya, lantas di nias terkenal dengan pakaian baru oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan,. Maka di Sulawesi Tengah kita akan banyak menemukan berbagai pakaian adat.
Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya.

Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini. Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja.
Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai.

Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau Pende.
Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak. Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari ini untuk dikenakan bersama pakaian ini.

Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini.

Pakaian adat berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki.

Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian kepala.

Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Pebo’o, Cincin atau Sinsi.

Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan. Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi perlengkapan untuk pakaian adat pria.

Pakaian adat etnis selanjutnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat perempuan dan laki-laki.

Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas. Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa. Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna kuning.

Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang.

Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan tutup kepala atau Songgo.

Berikutnya ialah pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan berbentuk bintang.
Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong, sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng.

Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana panjang (Lipa).

Ada pun bahan yang digunakan pakaian sehari-hari ialah bahan yang teridiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin).  Pembuatan bahan pakaian ini meliputi:

    Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan.
    Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.
    Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur.
    Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang disebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter.
    Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)
    Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika.

Pakaian upacara menggunakan kulit kayu Ivo sebagai bahannya. Kulit kayu Ivo merupakan kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu.

Pakaian Adat Sulawesi Utara

Berbicara adat dan budaya Sulawesi Utara, kita tidak mungkin bisa dengan membicarakan satu suku sebagai perwakilan dari empat suku penduduk asli Sulawesi Utara. Keempat suku penduduk asli tersebut adalah; Suku bangsa Minahasa, Gorontalo, Sangir Talaud, dan Mongondow.  Ke empat suku bangsa ini memiliki adat istiadat tersendiri, meski dalam beberapa hal terdapat kesamaannya. Begitu pun ketika kita membicarakan pakaian adat. Tulisan ini akan mencoba memaparkan pakaian adat dari ke empat suku bangsa tersebut.

Sistematika tulisan ini, baiknya kita kategorikan pakaian adat dan perhiasan menurut fungsi dan kegunaannya saja, yakni; pakaian sehari-hari, pakaian upacara, dan pakaian upacara perkawinan. Agar kita mudah melihat ragam pembeda yang menjadi khas pada masing-masing daerah dan menemukan kesamaann di antara kekhasan tersebut. Karena jika kita membahas satu persatu dari keempat suku bangsa terebut, artikel ini tidak mungkin mampu menampung kekayaan makna yang terkandung dalam pakaian adat masyarakat Sulawesi Utara secara menyeluruh. Apalagi dengan hitungan populasi (BPS, 2010) jumlah penduduk 2.265.937 jiwa, dengan kepadatan 147,5/km², dan persentase suku bangsa asli Minahasa (30%), Sangir (19,8%), Mongondow (11,3%), Gorontalo (7,4%), dan keturunan Tionghoa (3%), kita akan benar-benar butuh ratusan halaman dan obserfasi lapangan.

Baiklah langsung saja kita bicara soal pakaian sehari-hari dari keempat suku bangsa penduduk asli Sulawesi Utara. Dalam masyarakat Gorontalo, pakaian sehari-hari mereka berbahan mentah dari kapas atau biasa disebut molinggolo dipintal menjadi benang, dan ditenun alias mohewo. Polapakaian perempuan berbentuk kebaya dan tidak bermotif dan laki-laki kemeja lengan pendek. Sedangkan kain sarung dipakai oleh keduanya dan bermotif.

Pakaian sehari-hari masyarakat Bolaang Mangondow pada jaman dulu dibuat dari kulit kayu dan serta nenas yang direndam air beberapa hari ini kemudian dipukul-pukul dan seratnya dibuka. Serat itu diebut lanut yang kemudian ditenun dan menjadi lembaran kain. Tapi hari ini kain yang terbuat dari serat lanut sudah tidak ditemukan lagi, karena masyarakat Bolaang Mangondow telah menggunakan pakaian berbahan katun (kapas) sebagai pakaian sehari-hari mereka.

Seperti halnya masyarakat Bolaang Mangondow, suku bangsa Minahasa pada jaman dahulu telah menguasai pengetahuan dan keterampilan membuat kain dengan memanfaatkan kulit kayu dan dari sisanya yang bisa disebut manilahenep. Akan tetapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi pakaian dari hasil kerajinan tangan tersebut. Hanya ada sejenis pakaian laki-laki yang bernama bajang di beberapa tempat. Namun pakai adat sehari-hari itu telah menggunakn kain hasil produksi pabrik yang bisa dibeli di toko-toko kain.

Semenetara pakaian sehari-hari tradisional masyarakat Sangihe dan Talaud, yakni pakaian yang terbuat dari kain kofo dan dapat dikatakan kini sudah tidak ada lagi.

Pakaian upacara masyarakat Gorontalo berfungsi untuk melihat status sesorang dalam upacara adat. Para pemangku adat atau bate-bate mengenakan sandang dengan pola dan motif yang berwarna; berbentuk kemeja kurung, celana pendek sebetis kaki (batik) yang biasa disebut talola bate. Sementara Jubah putih atau sandaria dipakai oleh pemimpin agama. Dan jas hitam, celana hitam adalah pakaian pejabat keamaan. Apabila kepala-kepala desa memakai kemeja batik bentuk baju kurung, celana putih pakai sarung dan ikan kepala alias payungu, menandakan bahwa mereka siap menjalankan perintah (mahiya pada waumatihimanga motubuhe tahilio lo ito Eya)

Dalam upacara adat, suku bangsa Bolaang Mangondow memakai pakaian adat yang terbuat dari bahan mentah kain katun dan tetoron. Untuk pakaian laki-laki bisanya disebut baniang. Sementara untuk perempuan disebut salu, untuk dibuat jadi kebaya, sarung, dan selendang.  Dalam upacara adat, laki-laki memakai destar semacam kain atau atau lenso yang diikat di kepala. Juga pomerus atau kain pelekat yang diikat pada pinggang. Sementara wanita memakai baju salu dengan pelengkap kain pelekat senket. Pada bagian dada dihiasi emas yang disebut hamunse.

Di Minahasa, pakaian upacara bagi laki-laki adalah jas (sepasang), dan atau cukup dengan memakai kemeja dengan pelengkap dasi. Bagi kaum perempuan pakaian mereka tidak lain berupa sarung kebaya atau yapon.

Bagi masyarakat Sangihe Talaud, seperangkat pakaian upacara yang biasa dikenakan terdiri dari baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala, dengan warna-warna dominan merah, hitam dan biru. Bentuk model pakaian tersebut hampir tidak terbedakan antara untuk laki-laki dan pempuan. Bentuknya menyerupai baju alian juhan  yang disebut “laku tepu”, pembeda diantara pakai laki-laki dan perempuan hanya panjangnya, bagi laki-laki hanya samapai pertengahan betis.

Mari kita kembali pada masyarakat Gorontalo. Dalam upacara perkawinan, suku bangsa Gorontalo memiliki pakaian adat uapacara perkawinan yang dinamakan urasipungu yang terdiri dari; kebaya pengantin perempuan terbuat dari kain saten dan diberi hiasan perak sepuhan. Sementara pengantin laki-laki mengenakan pakaian semacam kemeja kurung dari bahan yang sama dengan pengantin perempuan yang disebut kimunu. Kedua mempelai juga memakai kain sarung yang terbuat dari satin. Selain itu pelengkap berikutnya dalah Paluala yang berfungsi sebagai penutup kepala pengantin wanita yang terbuat dari kain satin dengan hiasan sunting atau biliu  yang terbuat dari perak. Hiasan lainnya adalah kecubu,  kain beludru dengan hiasan perak yang digantungkan pada leher pengantin wanita.

Dalam upacara perkawinan suku Bolaang Mangondow, pengantin wanita memakai sunting; semacam hiasan sanggul yang bahannya terdiri dari emas. Di dahi pengantin memakai hiasan yang disebut logis  yang terbuat dari benang hitam.

Kita langsung saja pada pakaian adat Sangihe Talaud yang secara umum, pakaian upacara perkawinan mereka hampir sama dengan upacar-upacara adat lainnya seperti perayaan hari raya “Mohobing Datu”, penasbihan tuknag besi, hari-hari istimewa dan para penari.

Awalnya, Propinsi Sulawesi Utara adalah empat wilayah administrasi yang terbagi berdasarkan empat wilayah suku bangsa yangtelah kita urai di atas. Namunkekinian, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, Gorontalo dibentuk Propinsi sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow.

Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 Kota lagi dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu. Namun sejatinya, suku bangsa asli masyarakat Sulawesi Selatan adalah empat  suku bangsa di atas yang budaya dan adat istiadatnya patut kita perhatikan kelestariannya sebelum benar-benar dimusiumkan.

Pakaian Adat Sulawesi Barat

Provinsi Sulawesi Barat memiliki keragaman tata busa atau baju tradisionalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tari tradisional Sulawesi Barat yang memiliki keragaman dalam busananya.Misalnya, pada tari Bamba Manurung yang merupakan tarian adat Tradisional yang biasa dipertunjukkan pada saat acara pesta Adat Mamuju di hadapan para penghulu adat dan tokoh masyarakat Mamuju. Busana yang dipakai pada tari tersebut bernama baju Badu. Adapun perlengkapan atau aksesoris yang menghias pada baju ini ialah bunga beru-beru atau bunga melati dan kipas

Ada lagi tari Bulu Londong yang merupakan tarian tradisional yang dilakukan sebagai pengucapan syukur dalam acara Rambutuka. Tarian ini menggunakan baju adat mamasa. Baju adat mamasa terbuat dari bulu burung. Adapun aksesoris yang melengkapi baju adat ini ialah kepala manusia, sengo, terompet alam bambu, tombak atau pedang
Tarian yang lainnya ialah tari Ma’bundu  yang merupakan tarian perang tradisional kreasi baru yang dipadukan dengan beberapa tarian Tradisional Kecamatan Kalumpang dan kecamatan Bonehau  Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Busana yang dipakai pada tari ini ialah pakaian kebesaran BEI. Baju kebesaran BEI dihiasi dengan ukir-ukiran yang  terbuat dari kerang kecil. Pakaian kebesaran BEI dihiasi dengan topi bertanduk dan berpalo-palo. Aksesori pada bagian tangan berupa potto ballusu (gelang-gelang ditangan). Para penari menggunakan tombak, gendang.
Selain baju adat yang biasa dikenakan dalam pertunjukan tari, Sulawesi Barat terkenal dengan tenu ikat tradisional sekomandi yang berasal dari Kalumpangan. Tenun ikat tradisional merupakan produk budaya yang telah berusia ratusan tahun dan terus dipelihara oleh masyarkat adatnya. Tenun Tradisional Sekomandi Kalumpang, terbuat dari kulit kayu dengan pewarna alami. Pewarna tersebut diambil dari salah satunya cabai. Untuk memberi warna, mula-mula kulit kayu ditumbuk kemudian diolah untuk  pintal.  Untuk membuat zat pewarna alami dari cabai, cabai di racik dan kemudian di campurkan dengan corak warna lainnya yang diinginkan. Biasanya tenun ini di dan  didominasi dengan warna  hitam, coklat, merah, dan kream.  Warna dasar adalah hitam.

Keunikan kain tenun ini terdapat di pola, warna, dan struktur kain. Semuanya dikerjakan dengan tangan dan di tenun dengan alat tradisional. Dbutuhkan waktu berminggu-minggu hingga hitungan bulan untuk memperoleh tenunan kualitas terbaik yang harganya bisa mencapai sepuluh juta rupiah.
Tenun tradisional sekomandi telah dikenal di mancanegara.karena dipasarkan melalui Bali oleh para pembuat kain dari Kalumpang. Banyak juga turis yang langsung membeli dipusat pembuatannya. Tenun ini dapat digunakan untuk untuk pakaian, selendang, taplak, dan banyak lagi.
Pemerintah kabupaten Mamuju secara aktif telah melakukan upaya pelestarian. Pelestarian tersebut berupa pemeliharaan, pendokumentasian, dan mempublikasikan warisan budaya, agar asset parawisata tradisional tetap terjaga.

Pakaian Adat Sumatra Barat

Pakaiaan adat khas sumatra barat sangatlah feminim bila dilihat dari sudut busananya. Pakaian Khas sumatra barat di bagi menjadi dua yaitu : Pakaian Tradisional dari Minangkabau dan Pakaian Bundo Kanduang. Produk yang kami iklankan ini merupakan bagian dari Pakaian Bundo Kanduang. Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang.Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.

Pakaian Adat Betawi

Indonesia, negara kepulauan yang memiliki banyak kebudayaan yang bermacam-macam. Kebudayaan yang memiliki wujud kebudayaan material dan nonmaterial. Bermula dari Sabang melangkah menuju Merauke begitu banyak kebudayaan ditiap daerah. Kebudayaan mengenai asal usul daerah, adat istiadat, benda yang dikeramatkan dan kebiasaan masyarakat ditiap daerah dan juga masih banyak kebudayaan-kebudayaan ditiap daerah-daerah Indonesia yang belum diketahui oleh masyarakat secara umum. Salah satu unsur kebudayaan berbentuk material yang masih belum banyak diketahui masyarakat umum adalah Pakaian Adat. 
Keberadaan Pakaian adat sebagai wujud material kebudayaan yang banyak terdapat di daerah-daerah di Indonesia memiliki nilai penting dalam sudut pandang sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah fase peradaban tertentu. Banyak pakaian adat di daerah yang merupakan representasi kebudayaan paling tinggi di sebuah komunitas masyarakat di daerah tertentu. Kondisi tersebut menuntut perlu adanya sebuah upaya untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Pakaian Adat. Upaya itu dilakukan untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat. Tujuannya agar masyarakat saat ini bisa membaca, memahami dan mengambil nilai-nilai positif yang terkandung pada pakaian adat di daerah mana saja.
Ada banyak pakaian adat di Indonesia yang memiliki nilai sejarah dan nilai pengetahuan yang penting. Salah satu dari banyak pakaian adat di Indonesia yang memiliki makna sejarah, representasi sebuah komunitas pada zamannya dan kemajuan sebuah peradaban adalah pakaian adat Betawi. Betawi adalah suku yang berada di DKI Jakarta dan sekitarnya di daerah provinsi Jawa Barat dan Banten. 
Nama Betawi berasal dari kata Batavia yang diberikan orang Belanda pada masa penjajahan. Keberadaan masyarakat Betawi merupakan proses panjang dari pembauran masyarakat di DKI Jakarta sehingga lahir kebudayaan Betawi. DKI Jakarta adalah kota industri, dimana banyak saudagar-saudagar dari luar seperti Arab, Portugis, Cina, Arab yang berdagang di Jakarta. Masyarakat luar Jakarta juga banyak yang berdagang di Jakarta seperti Bali, Madura, Jawa, Sunda. Keberadaan mereka yang secara langsung bersentuhan menciptakan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Betawi. Salah satu kebudayaan Betawi itu adalah mengenai pakaian adat Betawi.
Pakaian adat Betawi banyak dipengaruhi oleh berbagai negara lain. Hal itu dikarenakan Betawi adalah pencampuran budaya dari berbagai negara. Ada beberapa macam pakaian Betawi yang ada saat ini diantaranya adalah pakaian adat Betawi sehari-hari untuk laki laki adalah baju Koko atau disebut Sadariah. Baju Koko Betawi berwarna polos, memakai celana batik berwarna putih atau hitam, memakai selendang yang dipakai dipundak dan peci hitam sebagai identitas Kebetawian. Pakaian adat untuk perempuan yang dipakai sehari-hari yaitu baju kurung berlengan pendek, kain sarung batik, kerudung.
Selain itu, ada juga pakaian adat untuk pengantin laki-laki masyarakat Betawi yang dipengaruhi oleh kebudayaan Arab, Melayu dan Cina yaitu Dandanan care haji. Pakaian ini adalah jubah dan tutup kepala dan diadaptasi dari pakaian haji. Jubah terbuat dari bahan beludru sedangkan tutup kepala terbuat dari sorban yang disebut juga alpie. Untuk pakaian pengatin perempuan di Betawi disebut rias besar dandanan care none pengantin cine. Pakaian ini juga sedikitnya mirip dengan pakaian pengantin perempuan di Cina. Pakaian pengantin yang dipakai oleh kalangan bangsawan di Cina.
Bahan pakaian pengantin perempuan rias besar dandanan care none pengantin cine adalah baju yang dikenakan blus, bawahannya adalah rok berwarna gelap. Pelengkap pakaian ini adalah bagian kepala dirias dengan tambahan kembang goyang dengan motif hong dengan sanggul palsu dan cadar sebagai penutup setengah wajah. Selain itu perhiasan juga menjadi asesoris pakaian pengantin perempuan seperti manik-manik dan gelang.


Pakaian Adat Bali

Pakaian adat Bali kalau dilihat sekilas terkesan sama. Padahal sebenarnya pakaian adat Bali sangat bervariasi. Dengan melihat pakaian adat Bali yang dikenakan seseorang dalam  suatu acara, bisa dilihat status ekonomi dan status pernikahannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa pakaian adat Bali memiliki keanggunan dan citra tersendiri.
Setidaknya ada tiga jenis pakaian Adat Bali yang umum dikenakan oleh masyarakat Bali. Pertama, pakaian adat untuk upacara keagamaan. Kedua, pakaian adat untuk upacara pernikahan. Dan, ketiga adalah pakaian adat untuk aktivitas sehari-hari. Pakaian Adat khas Bali ini berbeda antara yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan.
Misalnya pemakaian sanggul ke pura oleh remaja putri. Mereka memakai sanggul atau pusung gonjer sedangkan untuk perempuan dewasa (sudah menikah) menggunakan sanggul (pusung tagel). Busana Agung adalah pakaian adat Bali yang paling mewah. Pakaian adat Bali yang satu ini biasanya dipakai pada rangkaian acara ‘Potong Gigi’ atau Perkawinan.
Busana Agung mempunyai beberapa variasi tergantung tempat, waktu dan keadaan. Kain yang digunakan dalam pakain adat Bali yang satu ini adalah wastra wali khusus untuk upacara atau wastra putih sebagai simbol kesucian. Tapi, tak jarang pula kain dalam pakaian adat Bali ini diganti dengan kain songket yang sangat pas untuk mewakili kemewahan atau prestise bagi pemakainya.
Sedangkan untuk laki-laki Bali selain menggunakan kain tersebut sebagai pakaian adat Bali. Mereka juga memakai kampuh gelagan atau dodot yang dipakai hingga menutupi dada.
Sementara, perempuan Bali sebelum menggunakan Busana Agung biasanya menggunakan kain lapis dalam yang disebut sinjang tau tapih untuk mengatur langkah wanita agar tampak anggun.
Pakaian adat Bali selain mempunyai nilai keindahan, tapi di dalamnya juga terkadung nilai – nilai  filosofis dan simbolik yang tersembunyi dalam bentuk, fungsi, dan maknanya. Itulah sebabnya dalam pakaian adat Bali dihiasi oleh berbagai ornamen dan simbol yang mempunyai arti tersindiri.

Kelengkapan Pakaian Adat Bali
Kelengkapan pakaian adat Bali terdiri dari beberapa item. Item itu antara lain kamen untuk pria, songket untuk pria dan wanita, udeng untuk pria dan sanggul lengkap dengan tiaranya untuk wanita. Disamping itu laki-laki Bali mengenakan keris, sedangkan wanita menggunakan kipas sebagai pelengkapnya.
Berbicara masalah harga, pakaian adat Bali ini sangat bervariasi. Songket Bali bisa didapatkan dengan varian harga yang sesuai dengan kemampuan sang pembeli, dimana dimulai dari harga lima ratus ribu hingga jutaan rupiah untuk yang halus dan berbenang emas. Sedangkan yang biasa dan umum digunakan masyarakat Bali ada di bawah harga tersebut dan tersedia secara luas di pasar-pasar tradisional.
Filosofi dalam Pakaian Adat Bali
Pakaian adat Bali menyimpan nilai filosofi yang sangat mendalam. Filosofi pakaian adat Bali dalam beberapa hal mungkin hampir sama dengan kebanyakan pakaian adat daerah lain, namun karena Bali juga merupakan salah satu tempat yang disakralkan dan sudah mendunia, maka filosofi pakaian adat Bali ikut menjadi penting dalam eksistensinya. Pakaian adat Bali memiliki standardisasi dalam kelengkapannya.
Pakaian adat Bali lengkap biasanya dikenakan pada upacara adat dan keagamaan atau upacara perayaan besar. Sedangkan pakaian adat madya dikenakan saat melakukan ritual sembahyang harian atau pada saat menghadiri acara yang menggembirakan. Seperti pada saat pesta kelahiran anak, sukses memperoleh panen atau kelulusan anak dan penyambutan tamu.
Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya.
Setiap daerah memiliki ornamen berbeda yang memiliki arti simbolis dalam pakaian adatnya masing-masing. Meskipun demikian, pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi. Pakaian ini juga seringkali digunakan untuk membedakan kasta, yang merupakan buatan manusia itu sendiri. Di hadapan Sang Hyang Widhi, manusia semua sama derajatnya. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada sang pencipta, pakaian adat Bali adalah suatu bentuk penghormatan kepada tamu yang datang. Ini adalah hal yang wajar, mengingat jika anda sebagai tamu maka akan merasa terhormat jika disambut oleh pemilik rumah yang berpakaian bagus dan rapi.


Pakaian Adat Maluku

Propinsi Maluku yang dikenal secara internasional dengan sebutan Moluccas dan Molukken merupakan propinsi tertua di Indonesia. Secara geografis propinsi yang beribukota di Ambon ini berbatasan langsung dengan Pulau Irian dan Pulau Sulawesi. Seperti daerah lain di Indonesia, masyarakat Maluku juga memiliki pakaian adat tradisional yang terkenal dengan motif garis-garis geometri atau kotak-kotak kecil yang diperoleh dari anyaman benang beraneka ragam seperti warna merah, coklat, marun, dan sebagainya. Dalam tradisi masyarakat Maluku, pada umumnya pakaian adat hanya digunakan untuk menghadiri acara-acara tertentu seperti pernikahan, upacara adat dan lain-lain.


Kebaya Putih Tangan Panjang

Jenis pakaian dari bahan brokat berwarna putih ini dahulunya dikenakan oleh wanita-wanita dari kalangan keluarga kerajaan, guru, dan pendeta. Sebagai pelengkap ditambahkan pula kancing pada bagian tangan kebaya dan juga kancing peniti emas disertai dengan cole atau baju dalam dengan panjang lengan sebatas siku yang diberi renda pada bagian atasnya. Cole ini dibuat dari kain berwarna putih dengan kancing dibagian depan dan hiasan belakang berupa bordir. Selain itu ditambahkan pula penggunaan kaos kaki putih dan cenela yang dihiasi dengan motif kembang berwarna emas sebagai alas kaki serta sanggul berbentuk bulan dibagian kepala yang diperkuat dengan tusuk konde yang disebut karkupeng.


Kebaya Hitam Gereja

Kebaya hitam gereja terdiri dari kebaya berlengan panjang yang dibuat dari bahan brokat hitam serta kain sarung dari jenis brokat yang sama. Penggunaan pakaian ini biasanya dipadukan dengan kaos kaki putih dan cenela hitam, sapu tangan berenda atau lenso berwarna putih, serta sanggul bulan yang diperkuat denan haspel atau tusuk konde yang yang terbuat dari emas atau perak.


Baniang Putih

Baniang putih merupakan pakaian yang bentuknya menyerupai kemeja dengan bagian leher berbentuk bundar dan diberi kancing putih. Baniang putih biasa dipakai dibagian dalam pakaian lelaki.


Kebaya Dansa

Kebaya dansa merupakan pakaian yang bentuknya seperti kemeja dengan bentuk bundar di bagian lehernya namun tidak memakai kancing. Jenis kain yang biasa digunakan untuk membuat kebaya dansa yaitu berupa kain polos atau berjenis kembang kecil. Pakaian ini umumnya dikenakan oleh kaum pria pada acara pesta rakyat, sedang wanita memakai pakaian rok.


Baju Cele Kain Salele

Baju cele merupakan baju bermotif garis-garis geometris yang umumnya dikenakan pada upacara pelantikan raja, acara cuci negeri, serta acara panas pela dan di kombinasikan dengan sarung tenun khas Maluku sebatas lutut yang berwarna senada. Ditambahkan pula lenso atau sapu tangan yang diletakan di pundak sebagai pemanisnya.


Baju Nona Rok

Kelengkapan pakaian ini terdiri atas kebaya putih panjang yang dibuat dari kain brokat halus, peding atau ikat pinggang dari bahan perak, kaos kaki putih dan sepatu pantofel hitam, rok yang dijahit dengan model lipit kecil dari kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange, serta sanggul siap pakai yang disebut dengan konde bulan. Sebagai pelengkap ditambahkan pula haspel atau tusuk konde yang terbuat dari emas atau perak, empat buah kak kuping dari bahan emas atau perak yang ditusuk pada lingkaran konde, sisir konde yang diletakan pada bagian tengah, serta bunga ron yang dilingkarkan pada konde tersebut.


Selain memperhatikan penampilan luarnya, cara berpakaian dalam adat Maluku juga sangat memperhatikan kelengkapan pakaian yang dikenakan di bagian dalam. Hal ini lah yang menjadi ciri khas gaya berbusana masyarakat Maluku dan membedakannya dengan gaya berpakaian masyarakat didaerah lain.